Pengaruh tingkat konsumsi BBM masyarakat terhadap cadangan ENERGI nasional
Secara
umum terjadinya peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat
dengan kian berkembang kegiatan ekonomi dan kian bertambah jumlah
penduduk. Di Indonesia, dengan jumlah penduduk mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun dan pertumbuhan ekonomi terus berlangsung yang
ditunjukkan oleh kian bertambah output serta beragam aktivitas ekonomi
yang dilakukan oleh masyarakat, maka peningkatan kebutuhan energi adalah
suatu hal yang tak bisa dihindari. Berdasarkan pemaparan Ditjen Listrik
dan Pemanfaatan Energi dalam diskusi di Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI
pada tahun 2004, dinyatakan bahwa pada tahun 1970, konsumsi energi
primer hanya sebesar 50 juta SBM (Setara Barel Minyak). Tiga puluh satu
tahun kemudian, tepatnya tahun 2001 konsumsi energi primer telah menjadi
715 juta SBM atau mengalami pertumbuhan yang luar biasa yaitu sebesar
1330% atau pertumbuhan rata-rata periode 1970-2001 sebesar 42.9%/tahun.
Di
tengah cadangan energi yang kian menipis, khususnya Bahan Bakar Minyak
(BBM), maka jelas keadaan ini sangat mengkhawatirkan. Dalam situasi
seperti ini, maka memahami pola konsumsi energi yang dilakukan oleh
masyarakat adalah suatu keharusan dan menjadi hal penting bagi
pemerintah sebagai regulator dan pengendali kebijakan dalam perekonomian
khususnya dalam membuat kebijakan dan aturan-aturan di bidang energi.
Selain itu, juga bagi masyarakat sebagai konsumen untuk turut serta
dalam upaya menghemat dan mendiversifikasi pemakaian energi.
BBM
masih merupakan energi utama yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian energi final merupakan
yang terbesar dan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1990 konsumsi
BBM sebesar 169.168 ribu SBM, angka ini adalah 40.2 % dari total
konsumsi energi final. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2000,
konsumsinya meningkat menjadi 304.142 ribu SBM, dimana proporsi
konsumsinya pun turut meningkat menjadi 47.4 %. Proporsi pemakaian BBM
yang tinggi terkait dengan keterlambatan upaya diversifikasi ke energi
non minyak akibat harga BBM yang relatif murah karena masih mendapat
subsidi dari pemerintah. Kebijakan pemberian subsidi BBM ini dimulai
sejak tahun anggaran 1977/1978 dengan maksud untuk menjaga stabilitas
perekonomian nasional melalui penciptaan stabilitas harga BBM sebagai
komoditas yang strategis. Namun dalam perjalanannya subsidi BBM ini
ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Masyarakat cenderung boros
menggunakan BBM dan ada indikasi bahwa alokasi subsidi BBM lebih banyak
dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang seharusnya
tidak perlu mendapatkan subsidi.
Dilihat
dari sisi pemakai BBM, sektor transportasi merupakan pemakai BBM
terbesar dengan proporsi setiap tahun selalu mengalami kenaikan.
Kemudian di susul oleh sektor rumah tangga, sektor industri dan
pembangkit listrik. Sedangkan, jika dilihat ketersediaannya, selama ini
kebutuhan BBM dipasok oleh Pertamina dan impor. Beberapa jenis energi
BBM yang sebagian penyediaannya melalui impor adalah avtur, minyak
tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar.
Satu
hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa ada kecenderungan impor BBM kian
meningkat. maka bukan tidak mungkin suatu saat Indonesia akan mengimpor
sepenuhnya kebutuhan BBM bila upaya mendiversifikasi pemakaian energi
non BBM tidak dilakukan secara serius. Pada tahun 1992 pemakaian BBM
sebagai energi final sebesar 201.577 ribu SBM. ternyata kilang dalam
negeri hanya mampu memasok sekitar 167.944 ribu SBM. sehingga harus
mengimpor sekitar 33.633 ribu SBM atau bila dirata-ratakan setiap
harinya harus mengoimpor BBM sebanyak 92.145 SBM. Angka impor BBM ini
terus meningkat hingga mencapai 107.935 ribu SBM pada tahun 2003 atau
sekitar 32.75 % dari total konsumsi BBM dalam negeri.
Konsumsi BBM di sektor Industri
Konsumsi
BBM oleh sektor industri senantiasa mengalami kenaikan. Peningkatan
terbesar terutama terjadi pada jenis minyak solar. minyak bakar dan
minyak tanah. Namun memasuki tahun 1998 konsumsi BBM sektor industri
mengalami penurunan sebesar 4.3%. Hal ini berlanjut hingga tahun 1999
dimana konsumsinya turun sebesar 6.2%. Terjadinya penurunan ini
merupakan efek dari krisis ekonomi yang mulai melanda pada pertengahan
tahun 1997. Sejak krisis ekonomi, banyak industri yang menghentikan
produksinya, sementara yang lain walaupun tetap berproduksi namun dengan
kapasitas yang lebih rendah dari sebelumnya. Kejadian seperti ini
banyak terjadi pada industri makanan dan minuman, industri tekstil,
pakaian jadi, industri kulit, dan barang dari kulit. Memasuki tahun 2000
konsumsi BBM di sektor industri kembali meningkat, bahkan pertumbuhan
nya terbilang tinggi yaitu 23.5 %.
Dalam
lingkup mikro perlu diwaspadai bahwa peningkatan pemakaian energi di
sektor industri dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya terjadi karena
proses transformasi struktural yang cepat dari pertanian ke industri
saja. Namun lebih jauh dari itu diduga karena terjadi pemborosan
pemakaian energi di sektor ini. Krisis moneter pada pertengahan tahun
1997 telah membuat kurs rupiah terdepresiasi sangat tajam. Keadaan ini
sangat memukul industri dalam negeri yang selama ini masih memiliki
ketergantungan yang besar terhadap mesin-mesin produksi impor, sehingga
banyak diantara mereka yang tak mampu untuk meng-upgrade mesin-mesin
produksinya. Sehingga banyak yang beroperasi hanya mengandalkan
mesin-mesin tua yang tentu saja sangat boros bahan bakar. Indikasi ini
bisa dilihat dari nilai intensitas energi pada tahun 1997 yaitu 4.196,
nilai ini mengalami lonjakan yang cukup besar dari tahun 1996 yang hanya
2.637. Intensitas energi yang kian besar berarti bahwa pemakaian energi
kian tidak efisien. Bila dilihat hubungan nilai tambah sektor industri
dengan pemakaian energi, ternyata sebelum dan sesudah krisis ekonomi
mengalami perubahan. Pada masa sebelum krisis ekonomi. pertumbuhan nilai
tambah lebih besar dari pertumbuhan pemakaian energi. Namun semenjak
tahun 1998, yang terjadi sebaliknya, pertumbuhan pemakaian energi lebih
besar dari pertumbuhan nilai tambahnya. Hal ini khusus terjadi pada
industri makanan, industri tekstil, industri kertas, dan industri kimia.
Selain
itu ada dugaan bahwa pemakaian energi di sektor industri lebih besar
dari data yang disajikan oleh departemen energi dan sumber daya mineral.
Selama ini konsumsi energi di sektor industri khususnya untuk BBM
dicatat dengan pendekatan dari sisi supply yaitu berdasarkan pasokan
langsung dari Pertamina. Padahal kalau kita menyimak berita di media
massa. ternyata selama ini banyak penyelewengan penggunaan BBM oleh
sektor industri yaitu berupa pengalihan jatah BBM rumah tangga ke sektor
industri. Hal ini terjadi karena adanya disparitas harga yang cukup
besar. dimana BBM untuk sektor industri sudah tidak mendapat subsidi
lagi dari pemerintah. Jadi sebenarnya intensitas energi di sektor
industri yang menunjukkan tingkat efisiensi pemakaian energi akan lebih
besar dari angka yang ada.
Berdasarkan
fakta diatas, kita sebagai konsumen harus bijak dalam menggunakan BBM.
Apalagi keadaan ekonomi dalam negeri yang memprihatinkan, semakin
memperburuk keseimbangan alur – alur perdagangan. Dengan demikian
sebagai masyarakat yang mengerti akan pentingnya meghemat BBM sebagai
sumber energi yang jumlahnya terbatas, maka perlu dikembangkan energi
alternatif.
Kebijakan
penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005 merupakan momentum yang tepat
bagi pemerintah untuk mengembangkan batubara sebagai energi alternatif
yang prospeknya cukup menjanjikan. baik dilihat dari cadangan yang
melimpah maupun dari harga yang relatif lebih murah dibanding BBM.
Sebagai contoh bila digunakan di sektor listrik, batubara lebih murah
dibanding BBM. Pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang
menggunakan solar, harga listrik mencapai Rp 500 per KWh. Sementara
menggunakan batubara biayanya hanya sekitar Rp 50 per KWh. Jadi bisa
menghemat biaya kurang lebih Rp 30 milyar per tahun.
Peluang
untuk mengembangkan energi alternatif masih sangat terbuka lebar. Batu
bara dan gas bumi merupakan energi alternatif yang bisa dikembangkan
sebagai substitusi BBM di sektor rumah tangga. industri dan transportasi
dengan prospek menjanjikan. baik dilihat dari cadangan yang melimpah
maupun dari harga yang relatif lebih murah dibanding BBM. Langkah
pemerintah dalam menghapuskan subsidi BBM pada tahun 2005 merupakan
momentum yang tepat untuk menggiatkan pengembangan energi alternatif.
Untuk merangsang sektor swasta berpartisipasi lebih jauh dalam
mengembangkan energi alternatif mulai dari hulu sampai hilir, maka
pemerintah perlu memberikan kemudahan, keleluasaanm, dan insentif bagi
perusahaan-perusahaan yang berminat untuk mengembangkan energi
alternatif. Sementara untuk mendorong masyarakat dalam menggunakan
energi alternatif, perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat secara
menyeluruh dan intensif.