MANAJEMEN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
Dewasa
ini globalisasi telah menjangkau berbagai aspek kehidupan. Sebagai
akibatnya persainganpun semakin tajam. Dunia bisnis sebagai salah satu
bagiannya juga mengalami hal yang sama. Perusahaan-perusahaan yang
dahulu bersaing hanya pada tingkat local atau regional, kini harus pula
bersaing dengan perusahaan dari seluruh dunia. Hanya perusahaan yang
mampu menghasilkan barang atau jasa berkualitas kelas dunia yang dapat
bersaing dalam pasar global.
Demikian halnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang produksi
pangan, apabila ingin memiliki keunggulan dalam skala global, maka
perusahaan-perusahaan tersebut harus mampu melakukan setiap pekerjaan
secara lebih baik dalam rangka menghasilkan produk pangan berkualitas
tinggi dengan harga yang wajar dan bersaing. Hal ini berarti agar
perusahan atau industri pangan mampu bersaing secara global diperlukan
kemampuan mewujudkan produk pangan yang memiliki sifat aman (tidak
membahayakan), sehat dan bermanfaat bagi konsumen.
Dalam
krisis moneter seperti saat ini, pengembangan agroindustri yang
mempunyai peluang dan berpotensi adalah agroindustri yang memanfaatkan
bahan baku utama produk hasil pertanian dalam negeri, mengandung
komponen bahan impor sekecil mungkin, dan produk yang dihasilkannya
mempunyai mutu yang mampu bersaing di pasar internasional. Agroindustri
yang dibangun dengan kandungan impor yang cukup tinggi ternyata
merupakan industri yang rapuh karena sangat tergantung dari
kuat/lemahnya nilai rupiah terhadap nilai dolar, sehingga ketika dolar
menguat industri tidak sanggup membeli bahan baku impor tersebut.
Keamanan
pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri
pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan
konsumen, yang saat ini sudah harus memulai mengantisipasinya dengan
implementasi sistem mutu pangan. Karena di era pasar bebas ini industri
pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan
derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan
dalam sistem mutunya. Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan
adalah terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat
dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan.
Dari
jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% – 10,23%
pangan yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya
dibuat menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi
batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau
mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi
standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai
persyaratan. Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang
tidak memenuhi persyaratan bahan pangan adalah sekitar 7,82% – 8,75%.
Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan jajanan berada pada
tingkat yang cukup menghawatirkan karena jumlah yang diperiksa sekitar
80%-nya tidak memenuhi persyaratan. Pengujian pada minuman jajanan anak
sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang
memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna,
pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman
mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.
Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth)
yang ditemukan terutama pada produk sirop, limun, kerupuk, roti,
agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam
goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02%
menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet
(siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak
61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis
buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie basah; dan (4)
Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan lontong.
Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapan Good Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan berskala kecil dan rumah tangga.
Pemeriksaan
terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah
dan besar menemukan sekitar 33,15% – 42,18% sarana tidak memenuhi
persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat
pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan
dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin
penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran
yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C.
Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.
Distributor
pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP).
Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi,
bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual
menemukan sekitar 41,60% – 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat
sebagai distributor makanan. Selain itu, masih kurangnya pengetahuan dan
kepedulian konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya
konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang
aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli
tidak sesuai informasi yang tercantum pada label maupun iklan.
Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung
usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen pangan.
Untuk
itu, kesadaran semua pihak untuk meningkatkan manajemen mutu dan
keamanan pangan sangatlah penting. Tidak bisa hanya menyerahkan tanggung
jawab kepada pemerintah atau pihak produsen saja akn tetapi semua pihak
termasuk konsumen punya andil cukup penting dalam meningkatkan sistem
manajemen mutu dan keamanan pangan di Indonesia.
TINJAUAN ASPEK MUTU DALAM KEGIATAN
INDUSTRI PANGAN
2.1. Teknologi dan Industri Pangan
Teknologi
pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan
mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan
tujuan industri untuk memenuhi permintaan konsumen. Teknologi pangan
diharapkan berperan dalam perancangan produk, pengawasan bahan baku,
pengolahan, tindak pengawetan yang diperlukan, pengemasan, penyimpanan,
dan distribusi produk sampai ke konsumen. Industri pangan merupakan
industri yang mengolah hasil–hasil pertanian sampai menjadi produk yang
siap dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena itu, industri pangan
lebih berkiprah pada bagian hilir dari proses pembuatan produk
tersebut. Menurut Wirakartakusumah dan Syah (1990), fungsi utama suatu
industri pangan adalah untuk menyelamatkan, menyebarluaskan, dan
meningkatkan nilai tambah produk–produk hasil pertanian secara efektif
dan efisien.
Titik
tolak kegiatan suatu usaha industri pangan harus berdasarkan pada
permintaan konsumen akan suatu produk pangan. Komsumen akan selalu
menuntut suatu produk yang aman, berkualitas/bermutu, praktis/mudah
untuk disiapkan dan disajikan, serta enak rasanya dengan harga yang
terjangkau. Pertumbuhan industri pangan yang pesat akan dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat terhadap produk–produk pangan dengan mutu terjamin
dan harga yang bersaing. Di
samping itu, pengembangan sektor industri pangan akan dapat memperluas
kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah serta menambah devisa
negara.
Wirakartakusumah
dan Syah (1990) menyatakan bahwa industri pangan di Indonesia secara
umum dibagi menjadi industri kecil dan industri besar. Indstri pangan
kecil biasanya masih menggunakan cara–cara tradisional dan bersifat
padat karya, sedangkan industri pangan besar lebih modern dan padat
modal. Pada garis besarnya, aspek–aspek yang harus diperhatikan dalam
industri pangan adalah aspek teknologi, penyebaran lokasi, penyerapan
tenaga kerja, produksi, ekspor dan peningkatan mutu. Peran
serta teknologi harus selalu didampingi kajian ekonomis yang terkait
dengan faktor mutu. Walaupun faktor mutu akan menambah biaya produksi,
peningkatan biaya mutu diimbangi dengan peningkatan penerimaan oleh
konsumen. Di samping dapat menimbulkan citra yang baik dari konsumen,
pengendalian mutu yang efektif akan mengurangi tingkat resiko rusak atau
susut.
Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa adanya kelemahan dalam
hal pengawasan mutu industri pangan dapat berakibat fatal terhadap
kesehatan konsumen dan kelangsungan industri pangan yang bersangkutan.
Contohnya, seperti kasus biskuit beracun pada tahun 1989. Akibat
ketedoran tersebut, perusahaan yang bersangkutan harus ditutup.
Penolakan beberapa jenis makanan olahan yang diekspor ke luar negeri
juga menunjukkan bahwa pengawasan mutu masih belum dilaksanakan dengan
baik. Oleh karena itu, perkembangan teknologi yang pesat diikuti dengan
pertumbuhan industri yang cepat harus didukung oleh sistem pengawasan
mutu yang baik.
2.2. Konsep Mutu
Penerapan kosep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran yang beragam. Kramer dan Twigg (1983) menyatakan bahwa mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa dan bau). Hal
ini digunakan konsumen untuk memilih produk secara total. Gatchallan
(1989) dalam Hubeis (1994) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai
derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang
(seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat
organoleptiknya. Juran (1974) dalam Hubeis (1994) menilai mutu sebagai
kepuasan (kebutuhan dan harga) yang didapatkan konsumen dari integritas
produk yang dihasilkan produsen. Menurut Fardiaz (1997), mutu
berdasarkan ISO/DIS 8402–1992 didefinsilkan sebagai karakteristik
menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk, kegiatan, proses,
organisasi atau manusia, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi
kebutuhan yang telah ditentukan.
Kramer
dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan
menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi
penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu
tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi
bau dan cicip, dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan
keamanan mikrobiologis. Berdasarkan karakteristik tersebut, profil
produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya
kerenyahan pada keripik. Namun, ciri organoleptik lainnya seperti bau,
aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan. Pada produk pangan,
pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan
menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi
(mineral, logam–logam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan
pangan), dan mikrobiologi ( tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan patogen).
Kadarisman (1996) berpendapat bahwa mutu harus dirancang dan dibentuk
ke dalam produk. Kesadaran mutu harus dimulai pada tahap sangat awal,
yaitu gagasan konsep produk, setelah persyaratan–persyaratan konsumen
diidentifikasi. Kesadaran upaya membangun mutu ini harus dilanjutkan
melalui berbagai tahap pengembangan dan produksi, bahkan setelah
pengiriman produk kepada konsumen untuk memperoleh umpan balik. Hal ini
karena upaya–upaya perusahaan terhadap peningkatan mutu produk lebih
sering mengarah kepada kegiatan–kegiatan inspeksi serta memperbaiki
cacat dan kegagalan selama proses produksi. Bidang–bidang fungsional dan
kegiatan yang terlibat dalam pendekatan terpadu terhadap sistem mutu
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lingkaran Mutu
2.3. Good Manufacturing Practices (GMP)
Dewasa ini, kesadaran konsumen pada pangan adalah memberikan perhatian
terhadap nilai gizi dan keamanan pangan yang dikonsumsi. Faktor
keamanan pangan berkaitan dengan tercemar tidaknya pangan oleh cemaran
mikrobiologis, logam berat, dan bahan kimia yang membahayakan kesehatan.
Untuk dapat memproduksi pangan yang bermutu baik dan aman bagi
kesehatan, tidak cukup hanya mengandalkan pengujian akhir di
laboratorium saja, tetapi juga diperlukan adanya penerapan sistem
jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, atau penerapan sistem
produksi pangan yang baik (GMP- Good Manufacturing Practices) dan penerapan analisis bahaya dan titik kendali kritis (HACCP- Hazard Analysis and Critical Control Point).
Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau Good Manufacturing Practices (GMP) adalah
suatu pedoman cara berproduksi makanan yang bertujuan agar produsen
memenuhi persyaratan–persyaratan yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan bermutu dan sesuai dengan tuntutan konsumen.
Dengan menerapkan CPMB diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan
produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan
konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global
(Fardiaz, 1997).
Menurut Fardiaz (1997), dua hal yang berkaitan dengan penerapan CPMB di industri pangan adalah CCP dan HACCP. Critical Control Point
(CCP) atau Titik Kendali Kritis adalah setiap titip, tahap atau
prosedur dalam suatu sistem produksi makanan yang jika tidak terkendali
dapat menimbulkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan. CCP
diterapkan pada setiap tahap proses mulai dari produksi, pertumbuhan dan
pemanenan, penerimaan dan penanganan ingredien, pengolahan, pengemasan,
distribusi sampai dikonsumsi oleh konsumen. Limit kritis (critical limit)
adalah toleransi yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk menjamin
bahwa suatu CCP secara efektif dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis,
kimia maupun fisik. Limit kritis pada CCP menunjukkan batas keamanan.
Fardiaz (1997) menyatakan bahwa Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP) atau Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis adalah suatu
analisis yang dilakukan terhadap bahan, produk, atau proses untuk
menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus mendapatkan
pengawasan yang ketat dengan tujuan untuk menjamin bahwa produk yang
dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. HACCP
merupakan suatu sistem pengawasan yang bersifat mencegah (preventif)
terhadap kemungkinan terjadinya keracunan atau penyakit melalui makanan.
Menurut Hadiwihardjo (1998), sistem HACCP mempunyai tiga pendekatan
penting dalam pengawasan dan pengendalian mutu produk pangan, yaitu :
(1) keamanan pangan (food safety), yaitu aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit; (2) kesehatan dan kebersihan pangan (whole-someness),
merupakan karakteristik produk atau proses dalam kaitannya dengan
kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan higiene; (3) kecurangan
ekonomi (economic fraud), yaitu tindakan ilegal atau
penyelewengan yang dapat merugikan konsumen. Tindakan ini antara lain
meliputi pemalsuan bahan baku, penggunaan bahan tambahan yang
berlebihan, berat yang tidak sesuai dengan label, “overglazing” dan
jumlah yang kurang dalam kemasan.
Konsep HACCP dapat dan harus diterapkan pada seluruh mata rantai
produksi makanan, salah satunya adalah dalam industri pangan. Hubeis
(1997) berpendapat bahwa penerapan GMP dan HACCP merupakan implementasi
dari jaminan mutu pangan sehingga dapat dihasilkan produksi yang tinggi
dan bermutu oleh produsen yang pada akhirnya akan menciptakan kepuasan
bagi konsumen.
2.4. Ruang Lingkup Pengawasan Mutu Pangan
Pengawasan
mutu merupakan program atau kegiatan yang tidak dapat terpisahkan
dengan dunia industri, yaitu dunia usaha yang meliputi proses produksi,
pengolahan dan pemasaran produk. Industri mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan pengawasan mutu karena hanya produk hasil industri yang
bermutu yang dapat memenuhi kebutuhan pasar, yaitu masyarakat konsumen.
Seperti halnya proses produksi, pengawasan mutu sangat berlandaskan
pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Makin modern tingkat industri,
makin kompleks ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk
menangani mutunya. Demikian pula, semakin maju tingkat kesejahteraan
masyarakat, makin besar dan makin kompleks kebutuhan masyarakat terhadap
beraneka ragam jenis produk pangan. Oleh karena itu, sistem pengawasan
mutu pangan yang kuat dan dinamis diperlukan untuk membina produksi dan
perdagangan produk pangan.
Pengawasan mutu mencakup pengertian yang luas, meliputi aspek
kebijaksanaan, standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu
dan perundang-undangan (Soekarto, 1990). Hubeis (1997) menyatakan
bahwa pengendalian mutu pangan ditujukan untuk mengurangi kerusakan atau
cacat pada hasil produksi berdasarkan penyebab kerusakan tersebut. Hal
ini dilakukan melalui perbaikan proses produksi (menyusun batas dan
derajat toleransi) yang dimulai dari tahap pengembangan, perencanaan,
produksi, pemasaran dan pelayanan hasil produksi dan jasa pada tingkat
biaya yang efektif dan optimum untuk memuaskan konsumen (persyaratan
mutu) dengan menerapkan standardisasi perusahaan /industri yang baku.
Tiga kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan
standar (pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan
pengendalian), serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji).
Masalah jaminan mutu merupakan kunci penting dalam keberhasilan usaha.
Menurut Hubeis (1997), jaminan mutu merupakan sikap pencegahan terhadap
terjadinya kesalahan dengan bertindak tepat sedini mungkin oleh setiap
orang yang berada di dalam maupun di luar bidang produksi. Jaminan mutu
didasarkan pada aspek tangibles (hal-hal yang dapat dirasakan dan diukur), reliability (keandalan), responsiveness (tanggap), assurancy (rasa aman dan percaya diri) dan empathy
(keramahtamahan). Dalam konteks pangan, jaminan mutu merupakan suatu
program menyeluruh yang meliputi semua aspek mengenai produk dan kondisi
penanganan, pengolahan, pengemasan, distribusi dan penyimpanan produk
untuk menghasilkan produk dengan mutu terbaik dan menjamin produksi
makanan secara aman dengan produksi yang baik, sehingga jaminan mutu
secara keseluruhan mencakup perencanaan sampai diperoleh produk akhir..
Pengawasan mutu pangan juga mencakup penilaian pangan, yaitu kegiatan
yang dilakukan berdasarkan kemampuan alat indera. Cara ini disebut
penilaian inderawi atau organoleptik. Di samping menggunakan analisis
mutu berdasarkan prinsip-prinsip ilmu yang makin canggih, pengawasan
mutu dalam industri pangan modern tetap mempertahankan penilaian secara
inderawi/organoleptik. Nilai-nilai kemanusiaan yaitu selera, sosial
budaya dan kepercayaan, serta aspek perlindungan kesehatan konsumen baik
kesehatan fisik yang berhubungan dengan penyakit maupun kesehatan
rohani yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan juga harus
dipertimbangkan.
2.5. Keterkaitan pengawasan Mutu
Pengawasan
mutu merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
manajerial dalam hal penanganan mutu pada proses produksi, perdagangan
dan distribusi komoditas. Oleh karena itu, pengawasan mutu bukan
semata-mata masalah penerapan ilmu dan teknologi, melainkan juga terkait
dengan bidang-bidang ilmu sosial dan aspek-aspek lain, yaitu
kebijaksanaan pemerintah, kehidupan kemasyarakatan, kehidupan ekonomi
serta aspek hukum dan perundang-undangan. Keterkaitan pengawasan mutu
pangan dengan kegiatan ekonomi, kepentingan konsumen, pemerintahan dan
lain-lain seperti yang disajikan pada Gambar 2.
Pada Gambar 2, terlihat bahwa pengawasan mutu pangan di satu pihak
melayani berbagai kegiatan ekonomi dan di lain pihak memerlukan dukungan
pemerintah dan insentif ekonomi, serta dibutuhkan masyarakat. Campur
tangan pemerintah diperlukan agar mutu dapat terbina dengan tertib
karena jika terjadi penyimpangan atau penipuan mutu, masyarakat yang
dirugikan. Campur tangan pemerintah dapat berwujud kebijaksanaan atau
peraturan-peraturan, terciptanya sistem standarisasi nasional,
dilaksanakannya pengawasan mutu secara nasional, dan dilakukan tindakan
hukum bagi yang melanggar ketentuan. Kegiatan yang dilaksanakan oleh
pemerintah dalam rangka melakukan pengawasan terhadap penerapan
peraturan perundang-undangan pangan Codex Alimentarius Commision (CAC) disebut Food Control, sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing industri dalam mengendalikan mutu dan keamanan produknya sendiri disebut Food Quality Control
Gambar 2. Keterkaitan Pengawasan Mutu pada Berbagai Kegiatan Ekonomi dan Kehidupan Masyarakat
Pengawasan
mutu juga bergerak dalam berbagai kegiatan ekonomi. Macam-macam
kegiatan ekonomi seperti pengawasan mutu pangan berperan atau terkait
ialah dalam keseluruhan industri pertanian yang menggarap produk pangan
dari industri usaha produksi bahan pangan, sarana produksi pertanian,
industri pengolahan pangan dan pemasaran komoditas pangan.
Pengawasan mutu pangan juga berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat
dalam melayani kebutuhan konsumen, memberi penerangan dan pendidikan
konsumen. Pengawasan mutu pangan juga melindungi konsumen terhadap
penyimpangan mutu, pemalsuan dan menjaga keamanan konsumen terhadap
kemungkinan mengkonsumsi produk-produk pangan yang berbahaya, beracun
dan mengandung penyakit.
Di tingkat perusahaan, pengendalian mutu berkaitan dengan pola
pengelolaan dalam industri. Citra mutu suatu produk ditegakkan oleh
pimpinan perusahaan dan dijaga oleh seluruh bagian atau satuan kerja
dalam perusahaan/industri. Dalam industri pangan yang maju, pengendalian mutu sama pentingnya dengan kegiatan produksi. Penelitian
dan pengembangan (R&D) diperlukan untuk mengembangkan sistem
standardisasi mutu perusahaan maupun dalam kaitannya dengan analisis
mutu dan pengendalian proses secara rutin. Dalam kaitan dengan
produksi, pengawasan mutu dimaksudkan agar mutu produksi nasional
berkembang sehingga dapat menghasilkan produk yang aman serta mampu
memenuhi kebutuhan dan tidak mengecewakan masyarakat konsumen. Bagian
pemasaran juga harus melaksanakan fungsi pengawasan mutu menurut
bidangnya. Kerjasama, kesinambungan, dan keterkaitan yang sangat erat
antarsatuan kerja dalam organisasi perusahaan semuanya menuju satu
tujuan, yaitu mutu produk yang terbaik.
2.6. Penerapan Sistem Manajemen Mutu
ITC (1991) dalam Hubeis (1994) menyatakan bahwa industri pangan sebagai
bagian dari industri berbasis pertanian yang didasarkan pada wawasan
agribisnis memiliki mata rantai yang melibatkan banyak pelaku, yaitu
mulai dari produsen primer – (pengangkutan) – pengolah – penyalur –
pengecer – konsumen. Pada masing-masing mata rantai tersebut diperlukan
adanya pengendalian mutu (quality control atau QC) yang berorientasi ke standar jaminan mutu (quality assurance
atau QA) di tingkat produsen sampai konsumen, kecuali inspeksi pada
tahap pengangkutan dalam menuju pencapaian pengelolaan kegiatan
pengendalian mutu total (total quality control atau TQC) pada
aspek rancangan, produksi dan produktivitas serta pemasaran. Dengan
kata lain permasalahan mutu bukan sekedar masalah pengendalian mutu atas
barang dan jasa yang dihasilkan atau standar mutu barang (product quality), tetapi sudah bergerak ke arah penerapan dan penguasaan total quality management
(TQM) yang dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan ISO seri 9000
(sertifikat mutu internasional), yaitu ISO-9000 s.d. ISO-9004, dan yang
terbaru yaitu ISO 22000.
Sertifikat sebagai senjata untuk menembus pasar internasional merupakan
sebuah dokumen yang menyatakan suatu produk/jasa sesuai dengan
persyaratan standar atau spesifikasi teknis tertentu (Jaelani, 1993
dalam Hubeis, 1994). Sertifikat yang diperlukan adalah yang diakui
sebagai alat penjamin terhadap dapat diterimanya suatu produk/jasa
tersebut (Hubeis, 1997). Upaya ini sangat diperlukan karena Indonesia
menghadapi persaingan yang makin ketat dengan negara-negara lain yang
menghasilkan barang yang sama atau sejenis. Hal ini juga perlu
disiapkan dalam menghadapi perdagangan bebas di kawasan ASEAN sekarang
ini dan di kawasan Asia Pasifik tahun 2019 yang akan datang, serta
perubahan menuju perdagangan global dan terjadinya regionalisasi seperti
di Eropa dan Amerika Utara.
HACCP adalah pedoman untuk mengidentifikasi bahaya yang mungkin terjadi
pada semua proses produksi (dari tahap produksi primer sampai ditangan
konsumen). Dengan kata lain HACCP ini, di Indonesia bertujuan untuk
menjamin keamanan pangan. Dengan diidentifikasinya semua tahapan
produksi, sehingga bisa diminimalisasi kontaminasi bahaya. Bahaya disini
bisa disebabkan oleh zat kimia, kontaminasi mikro/bakteri (biologi),
atau zat asing (fisik, bisa berupa pecahan kaca atau lain sebagainya).
Penerapan
dan pendokumentasian HACCP lebih simple dibandingkan ISO. Tapi HACCP
punya tahapan tertentu. Sebelum penerapan HACCP, pabrik (perusahaan)
harus sudah menjalankan GMP dan SSOP dengan baik. Untuk kalangan pabrik
tentu sudah tidak asing lagi, apa itu GMP. Skedar berbagi saja, GMP
kependekan dari GOOD MANUFACTURING PRACTICES. Atau Cara2 berproduksi
dengan baik. GMP ini panduan mendetail dan harus mencakup semua proses
produksi, mulai dari ketertiban karyawan, Pest Control (pengendalian
hama), Fasilitas gudang, Kelengkapan rancangan gedung, keamanan,
kesehatan, dan keselamatan kerja.
GMP
harus diimplementasikan untuk semua bagian termasuk Processing Area,
Logistik dan Area Penyimpanan (Gudang), Laboratorium, Manufacturing
Area, Maintenance&Engineering, dan manajemen. Semua harus satu kata.
Semua bagian harus secara komitmen dan konsisten mengimplementasikan
GMP ini. Oleh sebab itu untuk memantau implementasi GMP dilapangan perlu
dilakukan audit. Audit ini bisa dibagi menjadi audit internal dan
eksternal. Audit internal berasal dari auditor yang ditunjuk dan diberi
kewenangan untuk mengaudit pabrik tersebut. Audit internal ini bisa
berasal dari gabungan karyawan dari berbagi bagian/departemen.
Diharapkan audit internal ini bisa mengevaluasi dan memberi masukan
kepada pihak yang bertanggungjwab di pabrik(perusahaan tsb). Masukan
dari auditor internal ini bisa dijadikan acuan untuk diadakan perubahan
kebijakan. Manfaat dari auditor internal ini adalah jika ada temuan bisa
dibahas secara internal pabrik dan tidak perlu sampai banyak pihak
tahu. Auditor internal bisa tidak efektif dalam mengauditnya karena akan
bersikap subyektif.
Kesubyektifan ini bisa diganti dengan diadakannya audit eksternal. Auditor eksternal bisa dari berbagai macam institusi baik milik pemerintah maupun milik swasta. Tapi ada syarat dalam memilih auditor eksternal, yaitu: institusi auditor eksternal tersebut harus memiliki akses ke KAN (Komite Akreditasi Nasional). Sudah banyak institusi yang bisa dijadikan auditor eksternal, salah satunya yang sudah terkenal adalah SGS. Selain GMP ada satu lagi pedoman yang harus diterapkan, yaitu SSOP. SSOP adalah kependekan dari Sanitation Standard Operating Procedures.
Kesubyektifan ini bisa diganti dengan diadakannya audit eksternal. Auditor eksternal bisa dari berbagai macam institusi baik milik pemerintah maupun milik swasta. Tapi ada syarat dalam memilih auditor eksternal, yaitu: institusi auditor eksternal tersebut harus memiliki akses ke KAN (Komite Akreditasi Nasional). Sudah banyak institusi yang bisa dijadikan auditor eksternal, salah satunya yang sudah terkenal adalah SGS. Selain GMP ada satu lagi pedoman yang harus diterapkan, yaitu SSOP. SSOP adalah kependekan dari Sanitation Standard Operating Procedures.
Tujuan HACCP
Umum
:
Meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi
kasus keracunan dan penyakit melalui makanan (“Food borne disease”).
Khusus :
-
Mengevaluasi cara produksi makanan. Bahaya ?
-
Memperbaiki cara produksi makanan. Critical process
-
Memantau & mengevaluasi penanganan, pengolahan, sanitasi
-
Meningkatkan inspeksi mandiri
Kegunaan HACCP
-
Mencegah penarikan makanan
-
·
-
Meningkatkan jaminan Food Safety
-
· Pembenahan & “pembersihan” unit pengolahan (produksi)
-
Mencegah kehilangan konsumen / menurunnya pasien
-
Meningkatkan kepercayaan konsumen / pasien
-
Mencegah pemborosan beaya
Prinsip HACCP :
-
Identifikasi bahaya
-
Penetapan CCP
-
Penetapan batas / limit kritis
-
Pemantauan CCP
-
Tindakan koreksi thd penyimpangan
-
Verifikasi
-
Dokumentasi
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam Sistem Mutu dan Keamanan Pangan
Untuk
implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan
analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman yang dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan
yang harus ditempuh, serta disusun strategi, program, dan kegiatan yang
perlu dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang
memenuhi persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan domestik maupun
global, yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang
aman, serta mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk menghasilkan produk yang
konsisten dan ISO 14000 (EMS) untuk menjamin produk pangan yang
berwawasan lingkungan (Gambar 1). Gambar 2. Menyajikan pengembangan
sistem mutu dan keamanan pangan nasional, yang menekankan pada penerapan
sistem jaminan mutu untuk setiap mata rantai dalam pengolahan pangan
yaitu GAP/GFP (Good Agriculture/Farming Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices), GRP (Good Retailing Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).
Tabel 3 Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap pemerintah, industri dan konsumen.
PENYIMPANGAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
|
||
PEMERINTAH
|
INDUSTRI
|
KONSUMEN
|
|
|
|
Konsep Implementasi Quality System dan Safety
SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN | |||
KEKUATAN
|
KELEMAHAN
|
PELUANG
|
ANCAMAN |
|
|
|
|
KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN PROGRAM
PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
(Mengacu pada konsep HACCP, ISO 9000 dan ISO 14000)
|
|||
IMPLEMENTASI PROGRAM DAN PENGAWASAN
|
Gambar 4. Analisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam implementasi sistem mutu dan keamanan pangan.
Gambar 5. Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional
Tanggung Jawab Bersama dalam Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan
Pengembangan
sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan
dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor
tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem
mutu dan keamanan pangan. Gambar 3 menyajikan keterlibatan dan tanggung
jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen dalam
pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.
IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN
|
||
PEMERINTAH
|
INDUSTRI
(Industri bahan baku, Pengolahan, Distributor, Pengecer)
|
KONSUMEN
MASYARAKAT
|
|
|
|
TANGGUNG JAWAB BERSAMA
|
Gambar 6. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam implementasi sistem dan keamanan pangan
Secara teknis dalam rangka upaya mempertahankan kualitas produk pangan, dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Dokumentasi Sistem Mutu
Perusahaan
harus membangun dan mempertahankan suatu sistem mutu tertulis
(terdokumentasi), dengan pengertian hal ini akan menjamin
produk-produknya sesuai dengan persyaratan tertentu. Sistem mutu
tertulis ini membuat jaminan mutu bersifat lebih melembaga sebab
dokumentasi ini dilakukan menyeluruh terhadap pedoman, prosedur dan
instruksi kerja.
Sistem mutu tertulis bukan sekedar merupakan sesuatu yang diinginkan
saja tetapi harus dikerjakan di lapangan. Sistem mutu terdiri dari
manual, prosedur, instruksi kerja, format-format dan record. Penulisan
sistem mutu sebaiknya melibatkan semua karyawan karena mereka nantinya
yang akan mengerjakan dan hasil kerjanya mempengaruhi mutu produk yang
dihasilkan perusahaan.
2. Pengendalian Rancangan
Mutu
produk sejak awal tergantung kepada rancangan produk tersebut. Tanpa
merancang mutu kedalam suatu produk, akan sulit mencapai mutu tersebut
selama produksi. Tujuan utama seorang perancang adalah menciptakan suatu
produk yang dapat memuaskan kebutuhan pelanggan secara penuh yang dapat
diproduksi pada tingkat harga yang bersaing. Dengan demikian, proses
perancangan yang meliputi perencanaan, verifikasi, kaji ulang, perubahan
dan dokumentasi menjadi sangat penting, terutama untuk produk-produk
yang mempunyai rancangan rumit dan memerlukan ketelitian.
3. Pengendalian Dokumen
Dalam
penerapan sistem standar jaminan mutu, perusahaan dituntut untuk
menyusun dan memelihara prosedur pengendalian semua dokumen dan data
yang berkaitan dengan sistem mutu. Tujuan pengendalian dokumen adalah
untuk memastikan bahwa para pelaksana tugas sadar akan adanya
dokumen-dokumen yang mengatur tugas mereka. Perusahaan harus menjamin
seluruh dokumen tersedia pada titik-titik dimana mereka dibutuhkan.
4. Pengendalian Pembelian
Pembelian
bahan hampir seluruhnya berdampak kepada mutu produk akhir sehingga
harus dikendalikan dengan baik. Perusahaan harus memastikan bahwa semua
bahan dan jasa yang diperoleh dari sumber-sumber di luar perusahaan
memenuhi persyaratan yang ditentukan.
5. Pengendalian Produk yang Dipasok Pembeli
Adakalanya
pembeli produk kita, mensyaratkan penggunaan produknya untuk diguna-kan
dalam rangka memenuhi persyaratan kontrak. Perusahaan bertanggung jawab
terhadap pencegahan kerusakan pemeliharaan, penyimpangan, penanganan
dan penggunaannya selama barang tersebut dalam tanggung jawabnya.
6. ldentifikasi Produk dan Kemampuan Telusur
Identifikasi
suatu produk dan prosedur penelusuran produk merupakan persyaratan
penting sistem mutu untuk keperluan identifikasi produk dan mencegah
tercampur selama proses, menjamin hanya bahan yang memenuhi syarat yang
digunakan, membantu analisis kegagalan dan melakukan tindakan koreksi,
memungkinkan penarikan produk cacat/rusak dari pasar serta untuk
memungkinkan penggunaan bahan yang tidak tahan lama digunakan dengan
prinsip FIFO (First In First Out).
7. Pengendalian Proses
Pengendalian
proses dalam sistem standar jaminan mutu mencakup seluruh faktor yang
berdampak terhadap proses seperti parameter proses, peralatan, bahan,
personil dan kondisi lingkungan proses.
8. Inspeksi dan Pengujian
Meskipun
penekanan pengendalian mutu telah beralih pada kegiatan-kegiatan
pencegahan dalam tahap sebelum produksi (perancangan, rekayasa proses
dan pembelian) inspeksi dengan intensitas tertentu tidak dapat dihindari
dalam sistem mutu.
9. Inspeksi, Pengukuran dan Peralatan Uji
Pengukuran
atau kegiatan pengujian bermanfaat jika hasil pengukuran dapat
diandalkan. Untuk itu alat pengukur atau alat uji harus memenuhi
kecermatan dan konsistensi jika dioperasikan pada kondisi yang biasa
digunakan.
10. lnspeksi dan Status Pengujian
Tujuan
utama sistem mutu adalah untuk memastikan hanya produk-produk yang
memenuhi spesifikasi sesuai kesepakatan yang dikirim ke pelanggan.
Sering dalam suatu pabrik yang besar, produk yang memenuhi spesifikasi,
yang belum diperiksa dan yang tidak memenuhi spesifikasi berada pada
tempat yang berdekatan sehingga mungkin bercampur. Dengan demikian
status inspeksi suatu produk harus jelas yaitu :
-
produk belum diperiksa
-
produk sudah diperiksa dan diterima
-
produk sudah diperiksa tetapi ditolak
11. Pengendalian Produk yang Tidak Sesuai
Dalam
sistem produksi harus dapat disingkirkan produk-produk yang tidak
sesuai. Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan perusahaan mempunyai
prosedur tertulis untuk mencegah terkirimnya produk-produk yang tidak
sesuai kepada konsumen. Jika produk yang tidak sesuai terdeteksi pada
tahap produksi, prosedur yang ada harus tidak membiarkan produk tersebut
diproses lebih lanjut.
12. Tindakan Koreksi
Setiap
kegiatan atau sistem operasi dapat saja menyimpang dari kondisi operasi
standar (prosedur) karena berbagai alasan sehingga menghasilkan produk
yang tidak sesuai. Sistem standar jaminan mutu mempersyaratkan
perusahaan mempunyai sistem institusional untuk memonitor kegiatan
produksi atau proses. Jika ketidaksesuaian diketahui, tindakan koreksi
harus dilakukan segera agar sistem operasi kembali kepada standar.
13. Penanganan, Penyimpanan, Pengemasan dan Pengiriman
Perusahaan
manufaktur terlibat dengan berbagai bahan dan produk, baik dalam bentuk
bahan mentah, produk antara untuk di proses lagi maupun produk jadi.
Adalah sangat penting menjamin bahwa mutu dari semua bahan dan produk
tersebut tidak terpengaruh oleh penyimpanan yang kondisinya kurang baik,
penanganan yang tidak tepat, pengemasan yang tidak memadai dan prosedur
pengiriman yang salah.
14. Catatan-Catatan Mutu
Perusahaan
harus menyusun dan memelihara prosedur untuk identifikasi pengumpulan.
pembuatan indeks, pengarsipan, penyimpanan dan disposisi catatan mutu.
Catatan mutu memberikan bukti obyektif bahwa mutu produk yang
disyaratkan telah dicapai dan berbagai unsur sistem mutu telah
dilaksanakan dengan efektif.
15. Audit Mutu Internal
Sistem
standar jaminan mutu mempersyaratkan suatu perusahaan untuk
melembagakan suatu audit sistematis terhadap semua kegiatan yang
berkaitan dengan mutu, untuk mengetahui apakah prosedur dan instruksi
memenuhi persyaratan standar .Perusahaan juga harus bisa
mendemonstrasikan bahwa semua operasi dan kegiatan dilaksanakan sesuai
prosedur tertulis dan semua tujuan sistem mutu telah dicapai.
16. Pelatihan dan Motivasi
Sistem
standar jaminan mutu mempersyaratkan kebutuhan pelatihan harus
diidentifikasi dengan cermat dan menyiapkan prosedur untuk melaksanakan
pelatihan semua personil yang kegiatannya berkaitan dengan mutu.