Marapu dan Budaya Masyarakat Sumba
Pulau Sumba sejak dahulu telah dikenal dengan
nama Pulau Cendana. Pulau ini disebut demikian karena ia merupakan
penghasil kayu cendana terbesar, namun jenis kayu tersebut telah punah
karena pembabatan besar-besaran pada masa lampau. Kayu inilah yang menarik perhatian
para pedagang Cina, Arab, Portugis, Inggris, dan Belanda untuk datang ke pulau
ini. Karena hasil alam ini juga para pendatang memberi julukan kepada pulau
Sumba dengan sebutan Sandlewood.
Sumba berasal dari kata Humba atau Hubba yang
berarti asli. Penduduk pulau Sumba biasa menyebut pulau mereka dengan nama
Tana Humba yang berarti tanah asli, dan mereka menyebut dirinya sebagai
Tau Humba atau orang-orang asli. Penduduk pulau Sumba sendiri sebenarnya
bukan penduduk asli, tetapi pendatang dari berbagai daerah seperti Sawu, Bima,
Ende, Makasar, Bugis, Selayar, Buton, dan yang paling utama dikatakan dalam
beberapa cerita, nenek moyang orang Sumba berasal dari Malaka Tana Bara atau
dari Semenanjung Malaka.
Menurut letak geografisnya pulau Sumba adalah
satu dari beberapa pulau besar yang ada di Nusa Tenggara Timur, yang memiliki
empat kabupaten yaitu, Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat
Daya. Dua kabupaten yang disebutkan terakhir adalah dua Kabupaten yang baru
dimekarkan dari Kabupaten Sumba Barat. Tetapi pemekaran Kabupaten tersebut
tidak merubah sistem kebudayaan Sumba yang telah turun-temurun merupakan satu
sistem kebudayaan yang tidak terpisahkan. Perubahan struktur pemerintahan yang
terjadi di Sumba tidak dapat mengubah struktur kehidupan sosial yang kolektif,
atau yang telah ada sebelumnya.
Di tempat yang baru
itu, mereka menyebar keseluruh penjuru Sumba dan membuat pemukiman yang disebut
Paraingu atau kampung. Setiap paraingu mempunyai seorang kepala paraingu atau
kepala kampung (Raja) yang bertugas sebagai pemimpin dan yang mengkoordinir
segala kegiatan di dalam paraingu tersebut. Paraingu didirikan diatas bukit dan
dikelilingi oleh pagar batu yang tinggi dan tanaman berduri. Hal ini
dimaksudkan agar melindungi diri dari serangan musuh yang terjadi (perang
antar-paraingu). Pada umumnya paraingu terdiri dari beberapa rumah, yang
mempunyai sebuah Uma Bokulu atau Uma Bakul (rumah besar). Di dalam paraingu
inilah orang Sumba menetap dan melakukan kegiatan sosial, ekonomi, politik,
keagamaan dan kebudayaan. Sedangkan Uma Bakul merupakan tempat persekutuan,
tempat pertemuan, dan tempat mengadakan ritual-ritual keagamaan.
Pada jaman dulu orang Sumba sering
melaksanakan ritual-ritual keagamaan yang disebut Hamayang (ritual doa,
sembahyang). Ritual-ritual tersebut ditujukan kepada roh-roh nenek moyang,
karena orang Sumba percaya bahwa roh-roh nenek moyang tersebut adalah pemelihara
orang-orang yang masih hidup di dunia. Kepercayaan terhadap roh-roh nenek
moyang bagi orang Sumba disebut Marapu. Pada jaman dulu, bahkan setelah
penjajahan Belanda dan Jepang orang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang
Marapu. Sehingga seluruh bidang kehidupan orang Sumba dikaitkan dengan Marapu.
Marapu Sebagai Sistem Kepercayaan
Marapu berasal dari dua kata yaitu ma berarti ‘Yang’ dan rapu artinya ‘dihormati’, ‘disembah’, dan ‘didewakan’. Ada juga mengatakan Marapu terdiri dari kata mera artinya ‘serupa’ dan appu artinya ‘nenek moyang’. Sehingga banyak yang mengartikan Marapu adalah roh-roh leluhur atau nenek moyang.
Marapu berasal dari dua kata yaitu ma berarti ‘Yang’ dan rapu artinya ‘dihormati’, ‘disembah’, dan ‘didewakan’. Ada juga mengatakan Marapu terdiri dari kata mera artinya ‘serupa’ dan appu artinya ‘nenek moyang’. Sehingga banyak yang mengartikan Marapu adalah roh-roh leluhur atau nenek moyang.
Kehadiran Marapu diwujudkan dalam berbagai
bentuk benda, seperti tombak, emas, gading, gong, manik-manik dan lain sebagainya.
Di samping para leluhur dijadikan objek penyembahan, ada kampong-kampung
tertentu yang menyembah binatang-binatang tertentu, dan yang pada dasarnya
mewujudkan Marapu. Binatang-binatang tersebut seperti ular, buaya, anjing, dan
lain sebagainya.
Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang
Pencipta dan manusia. Sang Marapu inilah yang menyampaikan permohonan kepada
Sang Pencipta dan Sang Pencipta menjawabnya melalui Marapu (dalam konsep modern
disebut animisme). Bagi masyarakat Sumba, Marapu menjadi falsafah hidup bagi
berbagai ungkapan budaya Sumba. Mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah
ibadat (umaratu), rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunannya, sampai
kepada seluruh aspek kehidupan dan kegiatan orang Sumba.
Marapu merupakan tata nilai mendasar yang
dipegang dan dianut oleh masyarakat Sumba. Tidak berbeda dengan sistem
kepercayaan umumnya Marapu mempunyai dua peranan penting dalam kehidupan
masyarakat Sumba.
Pertama, Marapu berperan sebagai pedoman
hidup, tingkah dan laku masyarakat Sumba. Marapu sendiri mempunyai
aturan-aturan atau hukum. Aturan-aturan tersebut dapat didefinisikan sebagai
”pedoman untuk berprilaku menurut tata-cara Marapu”. Aturan-aturan itu tidak
hanya bertalian dengan akal budi dan pengertian manusia saja, melainkan dengan
seluruh pola kehidupannya. Sebagai sistem kepercayaan yang mempunyai
aturan-aturan, sampai dengan saat ini masih dapat diterima karena keseluruhan
tata nilai diarahkan pada kebaikan kehidupan manusia.
Kedua, Marapu berperan sebagai ‘penolong’.
Artinya ketika manusia (masyarakat Sumba) mampu untuk menjalankan aturan-aturan
dalam Marapu maka ia akan selamat. Selamat dimaksudkan dengan (1). Berhasil
dalam segala usahanya didunia, pertanian, peternakan dll. (2). Akan
dilindungi oleh Sang Pencipta melalui roh nenek moyang dalam segala
malapetaka. (3) ketika meniggal setelah rohnya melayang-layang diangkasa
rohnya akan masuk pada langit kedelapan (Surga).
Untuk lebih jelasnya orang Sumba memandang
alam semesta dalam gambaran ‘walu danu awangu, pucu danu lauri’ (delapan
lapis langit dan tujuh lapis bumi. Lapisan-lapisan bumi dihuni oleh roh
jahat, susunannya dari terjahat (lapisan I) hingga terbaik, yaitu hunian
manusia (lapisan 7). Sedangkan lapisan langit dihuni oleh roh baik dari
susunan roh kurang baik (lapisan 1) hingga roh paling baik yaitu surga
(lapisan 8).
Pemahaman ini sangat mempengaruhi pola-pola
tindakan masyarakat Sumba akhirnya. Salah satu contohnya adalah upacara
kematian. Upacara kematian dirayakan dengan menyembelih korban seperti kerbau,
kuda, sapi, babi dll, kemudian dimakamkan sebagai jamuan upacara kematian.
Mayat dikubur dengan pakaian lengkap, dengan tumpukan kain sarung serta
perhiasan sperti, mas maupun perak. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Sumba
dengan harapan bahwa korban yang berupa, kain sarung, serta perhiasan,
merupakan bekal bagi roh yang meninggal dalam perjalanan dari langit lapisan
pertama hinggan langit lapisan kedelapan (Surga).