SABANA SANDLEWOOD

  • RSS
  • Skype
  • Facebook
  • Yahoo

Twitter


Marapu dan Budaya Masyarakat Sumba
Pulau Sumba sejak dahulu telah dikenal dengan nama Pulau Cendana. Pulau ini disebut demikian karena ia merupakan penghasil kayu cendana terbesar, namun jenis kayu tersebut telah punah karena pembabatan besar-besaran pada masa lampau. Kayu inilah yang menarik perhatian para pedagang Cina, Arab, Portugis, Inggris, dan Belanda untuk datang ke pulau ini. Karena hasil alam ini juga para pendatang memberi julukan kepada pulau Sumba dengan sebutan Sandlewood.
Sumba berasal dari kata Humba atau Hubba yang berarti asli. Penduduk pulau Sumba biasa menyebut pulau mereka dengan nama Tana Humba yang berarti tanah asli, dan mereka menyebut dirinya sebagai Tau Humba atau orang-orang asli. Penduduk pulau Sumba sendiri sebenarnya bukan penduduk asli, tetapi pendatang dari berbagai daerah seperti Sawu, Bima, Ende, Makasar, Bugis, Selayar, Buton, dan yang paling utama dikatakan dalam beberapa cerita, nenek moyang orang Sumba berasal dari Malaka Tana Bara atau dari Semenanjung Malaka.
Menurut letak geografisnya pulau Sumba adalah satu dari beberapa pulau besar yang ada di Nusa Tenggara Timur, yang memiliki empat kabupaten yaitu, Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Dua kabupaten yang disebutkan terakhir adalah dua Kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Sumba Barat. Tetapi pemekaran Kabupaten tersebut tidak merubah sistem kebudayaan Sumba yang telah turun-temurun merupakan satu sistem kebudayaan yang tidak terpisahkan. Perubahan struktur pemerintahan yang terjadi di Sumba tidak dapat mengubah struktur kehidupan sosial yang kolektif, atau yang telah ada sebelumnya.
Di tempat yang baru itu, mereka menyebar keseluruh penjuru Sumba dan membuat pemukiman yang disebut Paraingu atau kampung. Setiap paraingu mempunyai seorang kepala paraingu atau kepala kampung (Raja) yang bertugas sebagai pemimpin dan yang mengkoordinir segala kegiatan di dalam paraingu tersebut. Paraingu didirikan diatas bukit dan dikelilingi oleh pagar batu yang tinggi dan tanaman berduri. Hal ini dimaksudkan agar melindungi diri dari serangan musuh yang terjadi (perang antar-paraingu). Pada umumnya paraingu terdiri dari beberapa rumah, yang mempunyai sebuah Uma Bokulu atau Uma Bakul (rumah besar). Di dalam paraingu inilah orang Sumba menetap dan melakukan kegiatan sosial, ekonomi, politik, keagamaan dan kebudayaan. Sedangkan Uma Bakul merupakan tempat persekutuan, tempat pertemuan, dan tempat mengadakan ritual-ritual keagamaan.
Pada jaman dulu orang Sumba sering melaksanakan ritual-ritual keagamaan yang disebut Hamayang (ritual doa, sembahyang). Ritual-ritual tersebut ditujukan kepada roh-roh nenek moyang, karena orang Sumba percaya bahwa roh-roh nenek moyang tersebut adalah pemelihara orang-orang yang masih hidup di dunia. Kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang bagi orang Sumba disebut Marapu. Pada jaman dulu, bahkan setelah penjajahan Belanda dan Jepang orang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Marapu. Sehingga seluruh bidang kehidupan orang Sumba dikaitkan dengan Marapu.
Marapu Sebagai Sistem Kepercayaan
Marapu berasal dari dua kata yaitu ma berarti ‘Yang’ dan rapu artinya ‘dihormati’, ‘disembah’, dan ‘didewakan’. Ada juga mengatakan Marapu terdiri dari kata mera artinya ‘serupa’ dan appu artinya ‘nenek moyang’. Sehingga banyak yang mengartikan Marapu adalah roh-roh leluhur atau nenek moyang.
Kehadiran Marapu diwujudkan dalam berbagai bentuk benda, seperti tombak, emas, gading, gong, manik-manik dan lain sebagainya. Di samping para leluhur dijadikan objek penyembahan, ada kampong-kampung tertentu yang menyembah binatang-binatang tertentu, dan yang pada dasarnya mewujudkan Marapu. Binatang-binatang tersebut seperti ular, buaya, anjing, dan lain sebagainya.
Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Sang Marapu inilah yang menyampaikan permohonan kepada Sang Pencipta dan Sang Pencipta menjawabnya melalui Marapu (dalam konsep modern disebut animisme). Bagi masyarakat Sumba, Marapu menjadi falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba. Mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu), rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunannya, sampai kepada seluruh aspek kehidupan dan kegiatan orang Sumba.
Marapu merupakan tata nilai mendasar yang dipegang dan dianut oleh masyarakat Sumba. Tidak berbeda dengan sistem kepercayaan umumnya Marapu mempunyai dua peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sumba.
Pertama, Marapu berperan sebagai pedoman hidup, tingkah dan laku masyarakat Sumba. Marapu sendiri mempunyai aturan-aturan atau hukum. Aturan-aturan tersebut dapat didefinisikan sebagai ”pedoman untuk berprilaku menurut tata-cara Marapu”. Aturan-aturan itu tidak hanya bertalian dengan akal budi dan pengertian manusia saja, melainkan dengan seluruh pola kehidupannya. Sebagai sistem kepercayaan yang mempunyai aturan-aturan, sampai dengan saat ini masih dapat diterima karena keseluruhan tata nilai diarahkan pada kebaikan kehidupan manusia.
Kedua, Marapu berperan sebagai ‘penolong’. Artinya ketika manusia (masyarakat Sumba) mampu untuk menjalankan aturan-aturan dalam Marapu maka ia akan selamat. Selamat dimaksudkan dengan (1). Berhasil dalam segala usahanya  didunia, pertanian, peternakan dll. (2). Akan dilindungi oleh Sang  Pencipta melalui roh nenek moyang dalam segala malapetaka. (3)  ketika meniggal setelah rohnya melayang-layang diangkasa rohnya  akan masuk pada langit kedelapan (Surga).
Untuk lebih jelasnya orang Sumba memandang alam semesta dalam  gambaran ‘walu danu awangu, pucu danu lauri’ (delapan lapis langit  dan tujuh lapis bumi. Lapisan-lapisan bumi dihuni oleh roh jahat,  susunannya dari terjahat (lapisan I) hingga terbaik, yaitu hunian  manusia (lapisan 7). Sedangkan lapisan langit dihuni oleh roh baik dari susunan roh kurang baik (lapisan 1) hingga roh paling baik yaitu  surga (lapisan 8).
Pemahaman ini sangat mempengaruhi pola-pola tindakan masyarakat Sumba akhirnya. Salah satu contohnya adalah upacara kematian. Upacara kematian dirayakan dengan menyembelih korban seperti kerbau, kuda, sapi, babi dll, kemudian dimakamkan sebagai jamuan upacara kematian. Mayat dikubur dengan pakaian lengkap, dengan tumpukan kain sarung serta perhiasan sperti, mas maupun perak. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Sumba dengan harapan bahwa korban yang berupa, kain sarung, serta perhiasan, merupakan bekal bagi roh yang meninggal dalam perjalanan dari langit lapisan pertama hinggan langit lapisan kedelapan (Surga).